Cerpen Sedih Sepotong Kenangan ini adalah cerita fantasi sedih yang bikin kecewa dan bikin nangis. Cerpen Sedih Sepotong Kenangan ini menceritakan tentang kisah cinta yang romantis namun berakhir tragis. Selamat menikmati suguhan cerita singkat ini. Semoga pembaca merasa terhibur dan bisa mengambil pelajaran dari kumpulan artikel cerita ini. Perlu diketahui bahwa cerita fantasi cerpen sedih kecewa bikin nangis sepotong kenangan ini adalah hasil imajinasi penulis.
Kutatap hamparan sawah yang menguning keperakan dicumbu sinar matahari. Sesekali kulihat pucuk-pucuk tanaman padi melambai-lambai diterpa angin sepoi-sepoi. Memukau. Jauh di sana, para petani berjalan mengekor di pematang sawah. Aku duduk santai menyanggah tubuh kekasihku yang bersandar manja di pangkuanku.
Ah, sepertinya tak ada hari yang lebih indah dari sore ini.
“Kak, aku takut.” Vina berbisik lamat-lamat, mendekatkan mulut kecilnya ke telingaku. Dapat dirasakankan harum nafasnya.
Kutatap sekeliling wajahnya yang cantik.
“Aku takut tempat indah ini menjadi kenangan terburuk dalam hidupku, Kak Vino.”
Cepat-cepat aku menggeleng, memeluknya erat-erat. Kuletakkan daguku di atas hitam rambutnya.
“Aku tidak akan pergi jauh darimu, Sayang.”
Vina tersenyum, manis sekali. Aku menangkap ada rasa lega dianggun wajahnya.
“Tapi aku takut taqdir tidak berpihak pada kita, Kak.” Vina berkata serak, sempat terlihat gelisah.
Kini aku memeluknya sambil mendekapnya erat-erat.
“Kamu yang pertama dan terakhir, sayangku. Aku akan selalu menjagamu di setiap hembusan nafasku. Aku akan melindungimu saat hari datang dan pergi. Membuatmu tersenyum adalah tugasku. Membuatmu tertawa adalah tugasku. Dan tempat ini, hamparan sawah yang menguning di bumi yang indah dan subur ini menjadi Saksi bisu kataku.”
Vina tersenyum mendengar kalimat indah itu. Sesaat dia memejamkan matanya dan membenamkan kepalanya di pangkuanku.
Aku bahagia sekali. Tuhan, jika dia adalah hadiahMu untukku, kasih tahu aku bagaimana caranya agar aku bisa membuatnya bahagia. Namun jika dia bukan untukku, kasih tahu aku bagaimana cara melupakannya.
***
Ditempat yang sama aku duduk menatap padi yang menguning. Keindahannya tidak kalah dengan sore hari. Lebih indah lagi. Kulihat pucuk-pucuk padi tidak melambai seperti siang atau sore hari, mungkin saja karena terasa berat menggendong embun pagi.
Kabut tipis membentuk lingkaran di atas kepala. Cericit burung bertalu-talu seperti alunan musik yang mengiringi keindahan pagi. Inilah sebagian alasan kenapa aku tidak pernah lelah menunggu Vina. Dan alasan sebagiannya lagi adalah orang yang aku tunggu terlalu
berharga buat aku. Demi dia, menunggu berjam-jam pun tak akan pernah bosan.
“KakVino.”
Aku mendengar kalimat itu. Suaranya lembut. Aku kenal pasti siapa pemiliki suara itu. Dengan semangat aku menoleh. Dia tersenyum. Aku balas tersenyum. Senyum itu yang kurindukan. Senyum itu yang sering kali mengusik tidurku.
“Maaf aku lambat, Kak Vino.” Vina berkata pelan, merasa bersalah.
“Ini, sayang.” Aku mengerlingkan mata.
Dia mendekat, duduk di sampingku, lalu menyandarkan tubuhnya dengan hangat.
“Sayang, di dunia ini ada dua hal yang membuatku betah.” Aku menderu renyah di dekat telinga.
“Apa itu, Sayang?” Vina bertanya sambil tersenyum manja.
“Yang pertama adalah kamu. Dan yang kedua adalah tempat ini.”
Vina tersenyum riang. Aku menangkap guratan rasa bahagia di ayu wajahnya. Pagi itu aku izin merantau ke kota dalam waktu lama. Vinta tidak bisa dibuat banyak. ia hanya bisa mengiringi kesedihanku dengan tangisan yang berkali-kali ia pendam.
***
Aku akhirnya pulang setelah satu tahun merantau ke kota. Sesampai di halaman desaku, aku dikagetkan dengan kerusakan-kerusakan.
Sejauh edaran pandangku, tidak ada lagi rumah mentereng, tidak ada lagi rumah bersusun dengan corak eropa, tidak ada lagi hamparan sawah yang menguning, tidak ada lagi pemandangan-pemandangan asri nan elok.
Lihatlah, bumiku, lingkunganku, tanah tumpah daraku, dan tempat dimana aku menghabiskan masa kecilku sudah tidak seindah dulu lagi. Semuanya rusak total. Tanpa izinku, air mata ini mengalir perlahan.
Aku berlari mencari rumahku. Tidak ada gugusan-gugusan rumah kecil yang menderet di kampungku. Semuanya rata-rata. Aku berlari ke arah kanan, di sana aku menemui tenda-tenda kecil teramat sederhana. Ayah. Mama. Adikku. Itulah manusia pertama yang kucari. Dan, hanya sial yang kujumpai. Di sana, aku hanya menemukan adikku.
Papaku sudah tiada. Mamaku sudah tiada. Aku menggenggam tangan erat-erat. Mara. Tidak terima dengan tangan-tangan serekah yang menyebabkan banjir bandang.
Siapa dia? Aku bertanya dalam hati, menggerutu.
“Vin.” Pak Sapto, kepala sekolah menyapaku dengan suara tak berenergi. Ia melangkah terhuyung mendekatiku, memelukku dengan rasa iba.
“Apa yang terjadi, Pak?” Aku bertanya-tanya.
“Banjir bandang telah menenggelamkan desa kita, Nak. Semuanya karena penebangan pohon secara ilegal, sampah yang menumpuk di saluran sungai, dan hujan deras yang mengguyur desa ini. Tujuh hari tujuh malam.” Pak Sapto menjelaskan panjang lebar.
Aku diam terhenyak, tak bisa membayangkan.
“Lalu kemana ibu dan bapakku, Pak?” Aku bertanya penasaran, menunggu jawaban yang terbaik dari Pak Sapto.
Pak Sapto diam beberapa saat. Aura wajahnya seperti menimbang-nimbang jawaban dan memilih bahasa yang tepat.
Aku menunggu penasaran.
“Maafkan orang tua ini, Nak. Papamu ditahan di kantor polisi karena tersangka dan terbukti melakukan penebangan pohon secara ilegal. Ibumu hilang terseret banjir. Vina yang ingin membantu ibumu juga hilang terseret banjir bandang.”
Saya seperti di alam mimpi.
Malam ini berakhir sudah cerita-cerita indah itu. Cerita yang melahirkan lembar-lembar kenangan dan jejak masa lalu yang akan terlipat indah dalam ingatan.
Nanti atau esok akan tertulis cerita baru di halaman yang baru. Juga akan lahir episode kehidupan cinta berikutnya.
Namun teruntuk kamu Vina, cantik wajahmu, manis senyummu, dan anggun tawamu tidak akan pernah lepas dari ingatanku. Sampai kapanpun. Meski aku telah memilih hati yang lain.[]
Cerpen Sedih sebagian Kenangan sudah selesai, jangan lupa baca juga karya-karya yang lain yaa.