CERPEN PERJUANGAN PARA PENAKLUK MIMPI

cerpen para penakluk mimpi-perjuangan-pelajar-inspirasi
cerpen perjuangan dan inspirasi (ilustrasi gambar: pixabay)

                                                                         

          K-A-N-G-E-A-N.

Inilah tanah kelahiran kami. Tanah dimana kami
mengenal arti persatuan.

K-A-N-G-E-A-N.

Inilah tanah tumpah darah kami. Tanah dimana
kami belajar makna kebersamaan.

I-N-D-O-N-E-S-I-A.

Terima kasih telah mengajari kami persatuan.
Kepulauan kami memang terpencil tapi rasa nasionalisme kami jangan ditanya.

I-N-D-O-N-E-S-I-A.

Terima kasih telah mengajari kami kebersamaan.
Kepulauan kami memang tidak dikenal tapi jiwa patriotisme kami jangan
diragukan.

K-A-W-A-N.

Kamilah anak kepulauan yang jauh terpencil.
Kamilah anak kepulauan yang mencintai Indonesia. Kamilah anak kepulauan yang
berjuang mati-matian melawan nasib. Kamilah anak kepulauan yang akan meneruskan
perjuangan bapak-bapak pendiri bangsa.

I-N-D-O-N-E-S-I-AAAAAAA.

Kami datang untukmu. Sambutlah kami.

I-N-D-O-N-E-S-I-AAAAAAA. Kami berjuang
untukmu. Izinkan anak kepulauan ini mencintaimu. Anak kepulauan adalah bagian
darimu, bukan?

Kawan.

Lihatlah kami sekarang.

S-u-k-s-e-s.

Kamilah anak kepulauan yang belajar di sekolah
terbelakang. Anak kepulauan yang berusaha menyalakan lampu kecil di dalam hati.
Anak kepulauan yang terus berjuang dan berjuang demi menggapai impian.

Jika kalian mencintai hasil maka cintailah
proses. Jika kalian mencintai kemenangan maka cintailah perjuangan.

Rangkaian kata itu yang selalu membangunkan
jiwa kami dari lelapnya kemalasan. Butiran kata itulah yang mengangkis kami
dari derita kebodohan. Sederet kata itulah yang diucapkan oleh guru kami.
Pahlawan kami.

Kawan.

Saksikan masa-masa konyol kami. Masa konyol
yang nantinya akan membuka gerbang semangat baru untuk mengenal makna
perjuangan. Kami akan membuktikan bahwa tidak hanya anak daratan yang bisa
mencintai Indonesia. Inilah kisah kami, kisah empat orang yang berjuang
mewujudkan impian the founding fathers.

 

***

 

SD HIA-HIU I

Itulah nama sekolah kami. Sekolah kami jauh
sekali. Berkilo-kilo dari rumah reot yang kami huni. Sekolah kami terpencil.
Jarang sekali ada yang mau mengunjungi. Sekolah kami terbelakang. Dindingnya
terbuat dari papan, tidak beratap, dan guru kami menjelaskan di depan hanya
memakai kapur tulis.

Tapi jangan tanya semangat kami. Jiwa kami
bergelora meletup-letup sepanjang siang dan malam. Semangat kami menyala bagai
lampu kecil di dalam hati yang sinarnya kian terang dan cerah dari hari
kehari. 

Merah putih. Itulah seragam yang kami pakai.
Sepanjang jalan kami selalu menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bahagianya bukan
main karena hafal lagu itu. Meski jalan yang kami lalui berliku, penuh
tanjakan, curam dan teramat berbahaya.

Jalan kami ke sekolah penuh bahaya. Dan bahaya
tingkat akhir adalah menyeberangi sungai dengan jembatan bambu yang terbentang
memanjang. Hanya tali yang menjadi pegangan kami. Di bawah sana kawanan buaya
sedang menunggu di balik sungai keruh dan dalam itu.

Mengerikan kawan. Nyawa taruhannya. Tapi
lihatlah, kami tidak pernah gentar sama sekali. Hanya satu alasan.

M-e-n-u-n-t-u-t i-l-m-u.

Dengarkan anak-anakku, bukan sekolah yang
harus besar, tapi hati, hati, dan hati.

Kalimat itulah yang selalu menyalakan lampu di
dalam hati kami. Nasehat singkat itulah yang membuat kami persetan dengan kata
m-e-n-y-e-r-a-h. Nasehat yang keluar dari hati seorang guru.

Pak Jawarez. Iya, itulah satu-satunya guru di sekolah kami.
Kami ingat dengan wajahnya yang jika tersenyum bukan membuat kalian senang tapi
kalian pasti dijamin mau mengamuk.

Tapi wajahnya kontras sekali dengan hatinya.
Wajahnya memang membuat orang tertekan batinnya saat menatapnya, tapi hatinya
jangan ditanya. Menurut kami dialah satu-satunya manusia yang berhak mendapat
gelar pahlawan tanpa tanda jasa di dunia ini.

Sungguh.

Bayangkan saja, ia tidak digaji. Tapi tidak
pernah lambat ke sekolah. Setiap hari mengajar tanpa henti. Yang diajari
hanyalah satu kelas. Benar saja karena sekolah kami hanya memiliki satu kelas.

L-i-m-a b-e-l-a-s. Iya, kelas kami hanya
terdiri dari lima belas murid.

Tidak lebih.

 

***

 

Renungilah kisah kami, bersiaplah menyambut
cahaya kecil di dalam jiwa kalian. Kisah konyol yang mengantarkan kami ke dalam
terminal perjuangan berikutnya.

Kamilah Pecengsang Ying, Bautistantin
Keritantil, Haphap Khan,
dan Suzukieks.

Bautistantin
Keritantil.

Dialah teman dekatku yang kocak. Bicaranya
banyak, pantas saja gigi depannya besar-besar. Akibatnya mulutnya agak maju
sedikit. Kalau tertawa, yang lain pasti akan ikut tertawa. Bukan tertawa karena
apa, tapi karena melihat tawa dia.

Sebenarnya Bautistantin Keritantil bukanlah
nama aslinya. Nama asli dia adalah Keri. Hanya saja karena kakinya penuh dengan
bekas-bekas koreng seperti baut yang tertancap erat maka ia dijuluki si baut
berjalan. Dan seiring dengan berkembangnya zaman yang dimana perubahan selalu
tercipta, maka dia mengumumkan perubahan namanya menjadi Bautistantin
Keritantil. Entah dari mana bocah kocak itu memungut nama barunya. Dan
perubahan nama itu dibarengi dengan tasyakuran besar-besaran. Dan sebagai
korbannya adalah ayam betina milik neneknya yang sedang mengeram itu ia
sembelih dengan alasan ia bisa meramal bahwa anak ayam itu jika lahir akan
menjadi anak ayam yang durhaka kepada bundanya alias induknya.

Kabar baiknya, Baut tidak susah mencari teman.
Ia lelaki yang pandai bergaul. Kebanyakan teman-temannya dari kalangan orang
yang banyak masalah. Alasannya sederhana. Baut menjadi orang bermanfaat. Mereka
hanya butuh tawa Baut. Terhibur sudah teman-temannya.

Berteman dengan Baut tidak pernah lepas dari
masalah. Tepat pada suatu hari ia mengajakku mencari baju putih yang biasa
digunakan ibu-bu melakukan shalat. Kami mencuri di surau Ki Orbus. Tokoh
masyarakat yang mengajari kami mengaji. Guru ngaji yang tidak pernah tersenyum
ketika mengajarkan Alquran kepada kami. Siwak besar seukuran lengannya tidak
pernah ia lupakan ketika mengajar. Anehnya, setiap kami salah ia pasti
menggosok giginya yang tinggal dua itu. Entahlah, berapa kali ia menggosok
giginya dengan siwak selama mengajar. Apalagi si Baut, ketika membaca Alquran
pasti dibuat-buat salah. Satu ayat saja sampai diulang tujuh kali. Jadinya, Ki
Orbus harus menggosok giginya berulang-ulang. Hidungnya mendengus-dengus
kewalahan. Teman-teman menahan kuat-kuat tawanya.

Malam itu, aku, Baut, Haphap Khan, dan
Suzukieks mengendap-ngendap masuk ke dalam surau Ki Orbus untuk mencuri baju
shalat Nyi Kongkeng. Istri Ki Orbus. Ah, Baut berani sekali. Nekatnya bukan
main. Aku, Haphap Khan, dan Suzukieks ketar-ketir menunggu di luar. Baut masuk
dengan santai sambil bersiul-siul, menatap enjoy kanan-kiri.

Besoknya kami merancang rencana konyol Baut.
Sepakat sudah kami membuat orang-orangan untuk ditaruh di persimpangan jalan
yang gelap. Menurut orang-orang, jalan itu sangat angker.

 Dan
benar, pada malam harinya kami menaruh orang-orangan itu secara
sembunyi-sembunyi. Lima menit berlalu. Neng Niaya, putri kedua Ki Orbus
melintas. Tepat pandangannya mengarah ke tempat yang kami pasangi orang-orangan
ia berteriak histeris. Berlari sambil menangis. Baut tertawa terkekeh. Aku,
Haphap Khan, dan Suzukieks panik bukan main. Itu putri Ki Orbus. Bagaimana ini.
Bisa panjang urusan.

Beberapa menit kemudian dari kejauhan Pirda
berjalan santai hendak melewati jalan itu. Pirda itu putra Ki Orbus yang
terakhir. Orangnya memang penakut. Tapi entahlah, angin mana yang membuat ia
berani berjalan sendirian. Dan saat ia melintasi daerah yang kami pasangi
orang-orangan itu, persis kedua matanya melirik, ia berteriak menangis, berlari
terkencing-kencing. Baut ngakak. Aku dan Haphap Khan juga Suzukieks saling
tatap. Situasi darurat.

Ki Orbus marah bukan main. Secepat kilat
beliau mengumumkan kemarahannya di suraunya.

Para warga, malam ini juga kalian harus
berkumpul. Aku sedang marah.

Seluruh warga terbirit-birit mendatangi surau
Ki Orbus.

Kurang lebih kalimat itu yang kami dengar
malam itu. Suaranya lantang keluar dari corong surau. Maklum saja corongnya
tinggi. Ditaruh di pohon beringin. Itu pun masih ditambah dua ruas bambu.
Sialnya, jika angin kencang corongnya sering roboh. Tiap kali hujan lebat pasti
disambar petir. Yang menjadi korban adalah kami, pasti beliau akan marah-marah
meminta uang corong untuk membeli yang baru. Kalau tidak salah hitung, surau Ki
Orbus selama setahun corongnya diganti sampai sembilan puluh sembilan kali.

Kalau marah beliau tidak akan mengajari kami
mengaji. Dia tidak akan mengajari kami mengaji jika ada satu saja orang yang
tidak membayar uang corong. Parahnya, jika beliau marah, kumisnya yang tebal
melintang pasti meliuk ke atas. Jenggotnya yang tinggal tujuh itu bergoyang-goyang
seperti kegirangan.

Beberapa menit para warga berkumpul dan
mencari hantu di jalan angker yang kami pasangi orang-orangan itu. Kami tidak
tahu dan tidak sadar kalau Ki Orbus dan para warga hendak mencari hantu di persimpangan
jalan itu.

Baut berlari mengambil orang-orangan,
mengambil tenang seolah tidak ada beban. Kami ikut berlari. Dan tanpa kami
sadari, dari belakang suara Ki Orbus seperti petir yang menyambar telinga kami
bertiga. Dia membentak kami habis-habisan. Baut. Dimana dia. Secepat kilat ia
menghilang. Sialnya, kami yang jadi korban.

Ah, Baut, dialah temanku yang paling kocak dan
selalu memunculkan ide-ide gila. Tapi di balik kegilaanya ada jutaan ide yang
terpendam untuk membangun bangsa ini. Entahlah. Suatu saat kalian akan tahu.

 

***

 

Haphap Khan.

Aku dan Baut menyebutnya sebagai anak penakut.
Wajahnya asli seratus persen seperti masa-masa penjajahan tempo dulu. Persis
seperti para anggota terhormat para pekerja paksa yang diterapkan kolonial.
Jika bahagia wajahnya tetap seperti orang tidak makan berbulan-bulan. Apalagi
terkena masalah, wajahnya jangan ditanya.

  Ia
pecinta warna merah. Bajunya merah. Celananya merah. Sampai kepada ayam jagonya
pasti warna merah. Sempat pada suatu waktu hujan deras mengguyur kampung kami.
Angin berdesau-desau. Petir menyambar-nyambar. Bunyi geledak
menggelegar-gelegar. Waktu itu kami bertiga duduk santai di bawah pohon. Kilat
petir menyambar kami. Haphap Khan panik bukan main. Ia lari terbirit-birit. Aku
dan Baut ikut berlari (waktu itu tidak ada Suzukieks). Kilat petir mengikuti langkah
Haphap Khan. Baut menyarankan dari belakang untuk berlari berliuk-liuk. Haphap
Khan pun berlari berliuk. Tikung kanan, tikung kiri.  Aku dan Baut mati-matian menahan tawa. Tapi
kilat petir itu tetap saja menyambar-nyambar Haphap Khan. Haphap Khan dilanda
panik yang sangat dahsat.

Baut menyarakan lagi untuk membuka baju dan
celananya sebab kata orang-orang di kampung kami petir marah besar dengan warna
merah. Haphap Khan menatap ragu ke arah kami. Baut meyakinkan. Tanpa berpikir
lagi Haphap Khan langsung mengikuti saran Baut. Kami tertawa di dalam
kepanikan. Namun petir bukan berhenti mengikuti Haphap Khan. Tapi petir itu
semakin mengamuk. Aku panik. Baut hanya tertawa.

Haphap Khan terus berlari terbirit-birit.
Wajahnya pucat seperti mayat. Dia terus berlari sekencang-kencangnya. Kami
mengejarnya dari belakang. Kami tidak tahu apakah kami berlari mengejar Haphap
Khan atau kami juga takut kepada petir itu. Kami terus berlari melewati rumah
Ki Orbus.

Persis saat kami melintas di depan rumah Ki
Orbus, Ki Orbus sedang duduk santai bersama istri dan anak-anaknya. Ki Orbus
melihat Haphap Khan berlari telanjang. Beliau marah bukan main. Tanpa berpikir
panjang beliau ikut mengejar Haphap Khan. Mungkin saja ia mengira Haphap Khan
sedang terkena penyakit gila.

Ki Orbus meloncat dari halaman rumahnya,
sepasang matanya juga mau ikutan meloncat, tapi tidak bisa keluar dari cangkangnya.
Dia ikut mengejar Haphap Khan dengan marah. Ia mendengus-dengus. Istri dan
anak-anak-anaknya tertawa bercampur takut. Tertawa melihat Haphap Khan yang
berlari tanpa baju dan celana. Takut karena Ki Orbus yang juga ikut mengejar
Haphap Khan.

Kepanikanku berlipat-lipat. Haphap Khan jangan
ditanya. Si Baut, anak yang kenak penyakit gila itu tertawa riang kegirangan
dikejar guru ngaji kami. Ia berlari sambil terkekeh-kekeh. Lagi-lagi kami
terperangkap ide gila Baut.

Kabar baiknya, petir berhenti mengamuk dan
mengejar-ngejar kami. Kabar buruknya, Ki Orbus mendengus-dengus dari  belakang. Sampai akhirnya kami tertangkap. Ki
Orbus marah bukan main. Kepalanya seperti hendak keluar tanduk. Kedua bola
matanya berapi-api, mungkin saja karena tidak bisa keluar dari cangkangnya.
Haphap Khan menangis. Aku bingung. Baut diam. Aku tidak tahu apa dia panik atau
tidak.

Ki Orbus hebatnya bukan main. Petir mulai tadi
mengejar kami. Tapi setelah Ki Orbus datang dan ikut mengejar kami, petir jadi
takut. Ki Orbus hebat ditakuti sama petir.

Kalimat itu yang langsung diucapkan oleh Baut
saat kami bertiga terperangkap. Sontak saja kami langsung bertepuk tangan
memberi apresiasi. Ki Orbus diam mendengarkan. Beliau tersenyum. Mungkin saja
beliau tersanjung.

Dan ajaibnya, Ki Orbus tidak jadi marah setelah
mendengar sanjungan dari Baut. Beliau ganti kemarahannya dengan tertawa.
Giginya yang tinggal dua kelihatan sekali. Persis saat kedua giginya
dipertontonkan, petir menyambar lagi. Kami berempat berlari kucar-kacir.

 

***

 

Dan inilah kami sekarang. Tiga sahabat yang
terlahir dari karakter yang berbeda. Tapi bersatu untuk membangun Indonesia.

Ada Keri si pemilik ide gila. Tapi lihatlah
dia sekarang. Dia sukses di bidang usaha. Ia mengelola sumber daya alam bangsa
ini menjadi bermanfaat. Memiliki banyak pekerja. Mengurangi angka pengangguran.
Mencabut satu persatu akar kemiskinan.

Ada Dula yang penakut. Tapi pandanglah ia
sekarang. Ia sukses di bidang hukum. Ia menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
Dula yang dulunya penakut tapi sekarang ia tidak pernah gentar. Dialah hakim
yang selalu berada digarda terdepan dalam menindak para tikus-tikus berdasi.
Dialah yang tidak pernah megenal kata takut dalam menumpas dedengkot bangsa
ini.

Dan lihatlah aku sekarang. Seorang anak
kepulauan yang sukses di bidang akademis. Aku menjadi guru besar ilmu tata
negara. Tulisanku dimana-mana mengkritik ketidak adilan. Tulisan-tulisanku
berserakan membangunkan rakyat dari lelapnya kebodohan dan ketakutan. Tulisanku
tersebar luas mengajak bangsa yang besar ini untuk bersatu. Meski kita
berbeda-beda tapi kita harus b-e-r-s-a-t-u. Karena itulah kunci kemajuan
bangsa, bukan?

Kawan.

Kamilah anak kepulauan yang juga berhak
mencintai Indonesia. Kamilah anak kepulauan yang berkewajiban menyuarakan persatuan.
Kamilah anak kepulauan yang lahir dari sekolah kecil dan terbelakang. Tapi
sekarang…

Benar apa kata Pak Jawarez.

Bukan sekolah yang harus besar tapi hati,
hati, dan hati.
[] 

2 thoughts on “CERPEN PERJUANGAN PARA PENAKLUK MIMPI”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top