Keluar dari ruang kuliah, Gus Aziz langsung menuju mobil. Saat itulah, saat tangan ingin membuka pintu mobil. Saat semua siswa berhamburan kembali dengan aktivitasnya masing-masing. Saat kaki melangkah masuk ke dalam mobil. Tepat saat menoleh ke samping, tepat saat sorot bola mata sempurna terlihat. Saat itulah titik wajah elok penuh pesona terlihat.
“Subhanallah ,” desisnya langsung. Gus Aziz hanya bisa terhenyak terkagum-kagum, menggeleng, menampilkan mata tersihir dengan wajah bercahaya itu.
“ Astagfirullah ,” gumamnya kemudian. Gus
Aziz mendadak menunduk, menyesal karena gadis itu belum halal untuk dipandang.
Pagi hari, usai kuliah umum, usai menerima
materi tentang ilmu kesusastraan dari dosen, Gus Aziz telah tersihir pesona
bidadari berhijab itu.
Maka dimulailah cerita-cerita indah itu terukir.
***
Lihatlah, Gus Aziz melihat seorang gadis.
Indah sikapnya. Jelita parasnya. Cantik wajahnya. Manis senyumnya. Meleleh madu
bibirnya.
Maka, tanpa menunggu lirikan kedua, yang
tidak diperkenankan menurut ajaran Islam, hati Gus Aziz sudah terjatuh.
“ Subhanallah ,” desisnya pelan untuk kedua kalinya. Pelan-pelan hatinya
memberontak untuk menatap gadis itu.
“ Astagfirullah , ” gumamnya pelan untuk yang kedua kalinya juga. Tiba-tiba ia
tertunduk lagi, menyesal kembali. Merasa malu kepada Allah. Merasa malu terhadap
ilmunya.
Tapi apa mau dikata jika hati itu kalah
terhadap nafsu sehingga aksi saling memandang itu pun terjadi.
Maka dua pasang mata itu terus berlanjut. Tanpa
berkedip. Satu detik. Gus Aziz menatap terpana. Sepuluh detik. Gus Aziz tak
mengubah kekuasaan. Tiga puluh detik. Gus Aziz sudah hafal nama-nama bintang di
mata gadis itu. Satu menit. Sekarang Gus Aziz sudah menarik kesimpulan bahwa
surga yang berkali-kali disebut dalam kitab sucinya ternyata bersemayam di
dalam mata gadis itu.
Satu sepuluh menit detik. Gadis itu menunduk
salah tingkah. Lalu dia hendak naik ke atas bus. Hei, ayo lihat apa yang
dilakukan gadis itu sebelum benar-benar naik, gadis itu sekilas melirik Gus
Aziz. Lalu pelan tapi pasti menarik kedua sudut bibir.
Terhenti.
Bukan senyum indahnya yang berhenti, tapi
langkah kaki gadis itu yang berhenti, urung untuk masuk ke dalam bus.
“Tunggu sebentar!” Gus Aziz sudah berlari
mendekat. Membuat gadis itu turun kembali, lalu melangkah patah-patah,
ragu-ragu untuk mendekat.
“Nama kamu siapa?”
“Farihah, Gus.” Farahah menjawab takzim,
menundukkan kepala.
“Kamu bisa membaca puisi tadi?”
Farihah mengangguk sopan.
“Farihah, aku kagum dengan puisimu. Sungguh
luar biasa. Indah dan menyentuh hati. Benar-benar mendalam. Puisimu kaya dengan
nilai-nilai rohani.”
Farihah tersipu.
“Makasih, Gus,” jawabnya menunduk malu-malu. Tersenyum
diam-diam.
Dalam pertemuan sebelum pulang itu tiada kata
lagi yang tersampaikan. Sama-sama diam. Tetunduk bersama. Sesekali melirik.
Lalu tanpa sengaja sepasang mata itu bertemu. Dan mereka hanya bisa tersenyum
malu-malu.
“Fa… farihah.” Gus Aziz memanggil nama itu
dengan gugup. Suaranya terdengar bergetar.
“Iya, kenapa Gus?” Sama saja, gadis di
depannya juga begitu.
“Aku…” Suara Gus Aziz tercekat, tidak kuasa
meneruskan kata-katanya.
Keliman…
Suara Abi berdehem.
Gus Aziz putar.
Kaget.
Sesaat ia menoleh ke arah Farihah.
Kosong tak ada orang.
Ah, masa muda memang indah.
***
“Aku menyukainya karena kecantikan hatimu,
kecantikan budi peperimu, dan juga kecantikan wajahmu. Aku takut sekaligus
senang menatap wajahmu. Takut karena wajahmu belum halal untuk aku analisis.
Senang karena aku melihat keindahan Allah bersemayam di wajahmu, Fa.”
Wajah Farihah semakin membenam. Genangan udara
di kelopak matanya perlahan mengalir.
“Aku mencintaimu karena Allah, Fa.”
Farahah menggeleng tegas. “Farihah tidak
pantas buat Gus Aziz.”
“Jika kamu mengukur serasinya pasangan itu
lewat nasab, kekayaan, dan kecantikan wajah, maka dunia ini tak berubah seperti neraka,
Fa.”
Lengang.
“Saya tidak ingin berpacaran karena tidak
ada dalam Islam. Aku hanya ingin menjagamu dengan cinta. Aku mencintaimu karena
Allah. Aku ingin kau membesarkan anak-anakku nanti. Wajah keibuanmu tampak
jelas di wajahmu. Guratan-guratan kesetiaan terpancar nyata di matamu. Kau
perempuan baik, shalehah dan pintar.”
Sempurna sudah air mata itu bergulir, meluncur
deras membentuk parit-parit kecil.
“Tapi…”
“Farihah. Kumohon percayalah padaku. Tataplah
kesungguhan mataku. Karena mata adalah jendela hati. Aku mencintai sepenuh
jiwa dan ragaku. Farihah, dengarlah, atas nama Allah aku sayang.”
Farihah hanya bisa sesenggukan. Terisak dalam
tangis dilema. Kedua sudut matanya berkaca-kaca. Ia tetap menggeleng.
“Kenapa, Fa? Apakah rasa itu tidak ada di
dalam hatimu?”
Farihah lagi-lagi menggeleng.
“Kenapa, Fa?” Gus Aziz terus mendesak. “Apakah
sudah ada hati lain yang mengikat hatimu.”
Menggeleng. “Aku tidak pantas buat kamu, Gus.”
Farihah sesenggukan. Kalimatnya terbata tersampaikan.
“Aku sayang karena Allah, Fa. Dan Abi,
Umi, semua keluargaku tidak pernah mempersoalkan indahnya wajah, garis
keturunan, gelimang materi. Tidak. Itu sama sekali tidak ada dalam kamus
keluargaku, Farahah. Keluargaku memberiku kebebasan untuk memilih pasangan
dengan catatan dia itu agamanya baik, indah ahlaknya, suci jiwa. Dan sekarang aku
sudah muncul, Fa. Farihah namanya.” Lihatlah betapa tulusnya Gus
Aziz menyampaikan isi hatinya. Jelas dan langsung, tidak dibungkus dengan
kalimat-kalimat lebay yang sering kali diobral di pegadaian cinta oleh para
pemuja kata.
“Hatiku telah takluk dengan keindahan hatimu,
Farihah. Kumohon jawab dengan jujur apakah kamu juga mencintaiku, Fa.”
Lihat ayo lihat bagaimana ekpresi wajah
Farihah. Parit-parit kecil dipipinya terus sambung menyambung. Saling susul
menyusul. Terisak pelan. Lalu perlahan demi perlahan ia mengangguk lembut.
Maka Gus Aziz, demi melihat Anggukan bidadari
berhijab di depannya, ia telah merasakan angin surga menghangatkan lembut jantung.
Subhanallah…
Ikatan itu telah terjalin.
“Terima kasih calon makmumku. Makmum di dunia
dan di akhirat.” Gus Aziz berlalu meninggalkan Farihah.
Satu langkah. Sepuluh langkah. Lima belas
langkah. Sebelum tubuh Gus Aziz benar-benar habis ditelan kelokan, kalimat yang
ditunggu itu akhirnya tersampaikan juga.
“ Ukhibbuka fillah,
Gus.” Farihah berkata tersendat-sendat. Pipinya bersemu
merah. Senyum maut itu terukir sudah.
Gus Aziz menoleh. Hampir saja ia keseleo
melihat senyum itu. Hari yang indah untuk mereka. Hei, ternyata jatuh cinta itu indah.
***
Tiga bulan kemudian…
Baiklah. Maka Gus Aziz, dengan hati pasrah tak berdaya, dengan hati bingung entah bagaimana akhir cerita hidupnya, demi menghormati Abi dan Umi, demi nilai-nilai sami`na waata`na kepada orang tua, demi menjaga perasaan semua orang yang ada di ruang tamu itu , demi menjaga nama baik keluarganya, perlahan demi perlahan ia mengangguk takzim.
Bersamaan dengan itu, semua penghuni ruang
tamu itu terseret dalam satu ekpresi. Senyum bahagia.
Sepuluh menit berlalu. Kadua keluarga itu
saling berpisah. Meninggalkan sebuah kesepakatan bersama. PENJODOHAN.
Hafifah melukis senyum. Ada bahagia di balik
lukisan senyuman itu. Gus Aziz menggurat senyum. Ada sedih di balik guratan
senyum itu.
Mobil Avanza putih mendukung rapi di halaman
pesantren. Siap membawa kiai dan keluarganya. Mobil meluncur deras. Pulang.
Gerimis itu mulai terbit.
***
Siapa coba yang tidak terpesona dengan
keindahan Taman Menghafal. Rumput menghijau terhampar menutupi tanah. Di
sana-sini bunga matahari menjulang tinggi memamerkan keindahan dirinya. Anggrek,
mawar, tulip, melati, mereka seperti berkompetisi menampilkan pesonanya. Aliran
anak sungai kecil di bawah pohon mangga menambah keindahan tempat itu. Satu-dua
ikan warna-warni berenang mengibas-ngibaskan ekornya. sepertinya dia juga
memamerkan keindahannya. Duduk di tempat itu seperti duduk di tangga surga
Firdaus. Benar-benar menyejukkan.
Di sanalah kawanan bidadari memfokuskan diri
menghafal tasrif, nazam imrity, alfiyah
ibnu malik , dan nazam-nazam lain yang berkaitan dengan ilmu gramatika arab.
Farihah duduk santai, menatap ke kanan-kiri, menoleh
ke belakang, memandang awas, menjaga kemungkinan-kemungkinan.
Pesantren Keaman. Itu yang dimaksud Farihah.
Lihatlah, disore itu kawanan bidadari
berjilbab telah duduk dengan anggun menghafal nazam. Tidak bisa dipungkiri bahwa
senyum ceria dari kelompok santri putri itu mampu membuat keindahan senja
menguap dan layu.
Baiklah. Posisi benar-benar aman. Tidak ada
keaman pesantren yang terlihat. Pelan sekali ia membuka surat itu. Ada tumpukan
bahagia di relung hatinya.
Satu bulan hatinya dilanda kemarau panjang
menanti kabar dari Gus Aziz. Dan surat itu, surat yang saat ini ia pegang,
bagai gerimis yang turun dimusim kemarau. Membuat semua bunga-bunga bahagia di
jantung bergeliat hidup, mekarnya merona menantang kumbang.
Tangannya terus bergerak membuka. Tinggal satu
lipatan lagi surat itu akan terbuka. Bunga yang berada di jantung hati juga tinggal
satu, dan sebentar lagi bunga itu akan bangkit dan mekar setelah gerimis itu
benar-benar sampai. Maka sempurna sudah surat itu terbuka. Juga sempurna sudah
semua bunga di jantung bermekaran, warna-warni, terlihat elok menggoda
mata.
Tidak.
Farahah tidak akan membaca dulu. Ia harus memastikan bahwa situasinya benar-benar
aman. Karena jika ketahuan keaman pesantren maka usiran pondok adalah
taruhannya. Maka tampilkan mata Farihah melengak-lengok. Memantau keberadaan
manusia di sekitarnya. Perlahan menarik napas dalam-dalam.
Posisinya benar-benar
aman.
Saatnya membaca.
Maka Farihah,
setelah berkomonikasi dengan kalimat-kalimat surat itu, setelah membaca setiap
sajak kata dari surat itu, ia sudah tidak tahu lagi bagaimana cara menahan air
mata agar tidak berputar di pipinya.
Lihatlah, apa yang terjadi dengan gadis itu.
***
Tes…tes…tes…
Air mata Farihah mengalir berduyun-duyun
saling susul menyusul. Gerimis jantung. Rinai jiwa hujan. Menjerit batinnya.
Gerimis dikemarau panjang itu ternyata tidak
tanggung-tanggung. Menyejukkan untuk pertama kali. Membuat semua bunga di taman
jantung bergeliat bangkit lalu mekar memesona. Namun gerimis itu turun tak
henti-hentinya, mengeluarkan gelombang sunami, melibas habis semua bunga yang
merona di hati Farihah.
Lihat, gadis itu menangis. Terisak pelan.
Hati Farihah tidak mampu menampung air bah, membuat air itu berpindah ke kelopak
mata, lalu sepersekian detik, air itu tumpah membentuk parit-parit kecil di
pipi.
Ya Tuhan, bidadari berhijab itu suam-suam kuku.
Surat itu, surat yang ia nanti-nanti, surat
yang ia tunggu-tunggu, surat yang membuatnya lupa diri, surat yang membuat
dirinya susah tidur menunggu kehadirannya, ternyata surat itu mengirimkan seribu
luka. Ternyata surat itu mengundang sejuta lara.
Lihatlah, gadis itu menutup wajahnya dengan
kedua tangannya. Ia menangis sesenggukan. Ia menjerit tak mampu menahan goresan
perih. Ya Tuhan, dia seolah tidak menemukan keindahan lagi di dunia ini. Tubuhnya
yang indah serasa terlempar ke alam lain yang gelap. Tak menemukan arah.
Oh, Gus Aziz. Kemana kebahagiaan yang Anda
janjikan itu?
Tuhan, akankah gadis itu bisa bangkit untuk
mengumpulkan kepingan jantung yang telah berserakan diamuk badai duka?
Ah, ternyata cinta itu menyakitkan.
***
“Ini adalah Aziz putra saya. Dan ini adalah
Hafifah calon menantu saya.” Abi tersenyum bangga, menceritakan kepada tiga
profesor.
Derajat…derajat…derajat…
Jantung Farihah berdegup kencang. Hatinya
terasa ngilu mendengarnya. Suara pelan nan lembut itu seperti halilintar yang
menyambar-nyambar di daun telinga. Sakit dan sakit.
Seketika itu juga air matanya mau meleleh.
Cepat-cepat ia tahan. Segera ia pasang seribu pertahanan untuk
memperkuat diri. Tidak ingin menodai acara sakral dengan air mata.
“Aziz adalah calon pemimpin pesantren putra
dan Hafifah calon adalah pesantren putri. Dialah yang akan meneruskan estafet kepemimpinan saya.”
Ya Tuhan, gerimis di hati Farihah semakin
deras. Rinai hujan dibatinnya mengguyur keras. Banjir tangis di
persyaratan menuntut air matanya untuk mengalir. Di pelupuk matanya air bening yang meluap-luap
membuat kedua sudut mata indah Farihah terlihat berkaca-kaca.
Lihat, gadis itu bersedih. Ah, Kiai
berwibawa itu tidak mengaji perasaan Farihah. Bagaimana mungkin dia pandai
berbicara ini dan itu tentang menjaga perasaan sesama Muslim tetapi di sekitarnya ada sekeping hati yang berteriak terayat luka.
“Bagaimana? Aziz mau lanjut dimana? Hafifah juga
mau lanjut dimana?” Abi menatap Gus Aziz dan Hafifah.
Ya Tuhan, ini keterlaluan. Lihatlah apa yang
dilakukan Gus Aziz dan Hafifah. Mereka saling tatap. Menukar senyuman. Mesra
sekali. Sejenak berbisik satu-dua kata.
Sementara Farihah. Tuhan, beri kekuatan buat
bidadari berhijab itu. Dia hanya bisa menunduk ke dalam, menahan kuat-kuat air
matanya agar tidak terjatuh.
“Aziz ingin shalat Istiharah dulu, Bi,” jawab
Gus Aziz sopan. “Sama, Om Kiai,” lanjut Hafifah mantap tanpa jeda. Sejak tadi
senyumnya tak putus-putus.
Kiai Hakim mengangguk-ngangguk. Berbisik
beberapa kalimat kepada para profesor di sekitarnya. Manusia botak itu langsung
mengangguk setuju.
Hei, kenapa Farihah tidak ditanya? Kenapa Abi
seolah mengenyampingkan Farihah? Dan kenapa Abi lebih peduli terhadap Gus Aziz
dan Hafifah.
“Ya sudah, kamu shalat Istiharah dulu Aziz.
Kamu juga Hafifah.” Kiai Hakim tersenyum.
Gus Aziz dan Hafifah mengangguk mantap. Sekali
lagi saling tatap pecah renyah.
Lelah. Lihat hati Farahah sudah lelah bertahan
untuk tidak menangis. Satu bulir air mata luka itu mengalir. Cepat-cepat
Farihah mengusapnya. Sayang, di dalam ruangan itu ia tidak diperhartikan oleh
orang-orang terpandang.
“Kalau
Farahah bagaimana?” Profesor Hamdi menatap Farihah lamat-lamat, ia menangkap
luka di ujung-ujung kelopak matanya. Ah, sepertinya Profesor Hamdi lebih peka
dibandingkan kiai berwibawa itu.
“Izinkan Farihah untuk meminta izin kepada
ibu. Farihah tidak akan beristiharah selama ada ibu. Karena apapun keputusan
yang diberikan ibu kepada Farihah, sejalan dengan garis-garis agama, itu
sudah cukup membuat Farihah bahagia di dunia dan di akhirat,” jawab Farihah
lirih. Suaranya terdengar parau.
Gus Aziz dan Hafifah diam. Para profesor
tersenyum kagum. Pak Rektor menatap tiga profesor. Profesor mengangguk, isarat
bahwa mereka setuju.
“Ya sudah, silakan shalat Istiharah,
silakan minta Arahan kepada orang tua, saya tunggu penjelasan minggu lagi.
Kalian bisa kembali ke ruangan masing-masing.” Abi berkata mantap.
Farihah, Gus Aziz, dan Hafifah segera berdiri.
Mereka mencium tangan Abi dan para profesor secara bergantian, lalu berjalan menuju
pintu. Mengucapkan salam, membuka pintu, lalu melangkah keluar.
Sebelum berpisah senyum itu sekali lagi
terlukis di bibir Gus Aziz. Farahah membalas senyuman itu. Sayang, senyum Gus
Aziz bukan untuk dirinya sendiri. Ada sosok yang berdiri di belakang Farahah. Dialah
pertunangan Gus Aziz. Lailatul Hafifah.
Maka kejadian di kantor rektorat itu, kejadian
membalas senyuman yang ternyata bukan ditujukan untuk dirinya sendiri, kejadian yang
dikesampingkan karena bukan dari keluarga terpandang saat pertemuan itu, maka
semuanya sudah cukup membuat hati Farihah menjerit pedih. Luka berdarah-darah.
Farahah melangkah menuju kamarnya. Lemas
lunglai semampai tubuhnya. Terhuyung langkahnya. Tertatih memutar. Dari
pemandangan Gus Aziz menatap dengan iringan senyum penuh kemenangan.
Diusapnya dada. Farahah mencoba bersabar.
Menahan gejolak kemarahan balas dendam dan kecewa pada putra kiai itu, putra kiai
yang teramat semangat menjanjikan kebahagiaan, namun berakhir dengan pedih
tiada terkira. Sesampai dikamar, tumpahlah sudah air mata itu.
Ah, Gus Aziz jahat.
***
“Ziz, kamu jangan main-main, Ziz. Gunakan akal
sehatmu, Ziz. Sadarlah dengan tindakanmu sekarang, Ziz. Perbuatanmu adalah
sebuah kenistaan yang membuat keluarga besar Abi tercoreng, Ziz.
“Tak ada maksud tujuan abi ingin kamu
menikah dengan Hafifah melainkan hanya demi kebaikanmu semata. Pesantren ini
harus dipegang oleh keluarga ini, Ziz. Hafifah adalah bagian dari keluarga Abi.
Pikirkan kesalahanmu, Ziz. Ubahlah keputusanmu yang salah itu.
“Cintamu pada gadis itu hanyalah sebatas cinta
mainan. Cinta semu yang hanya berjangka waktu. Tak akan abadi. Esok lusa kamu
akan menyesal jika kamu menikah dengannya. Pikirlah yang logis, Anakku.” Abi
terus mendukung mendukung pagi itu.
Lagi-lagi Gus Aziz mencium kaki dan memeluk
lututnya. Isak tangisnya pecah meminta restu. Air matanya tumpah berharap
ridho. Sudah dua kali Gus Aziz mencium kaki abinya. Sang Umi yang berada
didekatnya bangkit dan membangunkan kampus.
“Tidak Umi, Aziz tidak akan berhenti mencium
kaki Abi sebelum mendapat restu dan ridho darinya,” ucap Gus Aziz dengan suara
serak. Parit-parit kecil saling susul-menyusul di pipinya.
Tuhan, lihatlah, anak itu tidak mau bangun
demi mendapat restu dari abinya. Tuhan, bagaimana menanggapimu ketika pilihan
anak tidak sejalan dengan pilihan orang tua. Durhakakah dia? Jika ya, bukankah
seorang anak memiliki kebebasan untuk memilih yang terbaik untuk dirinya sendiri? Tuhan,
dia memiliki kriteria tersendiri, bukan?
Umi ikut duduk, bersimpuh di depan suaminya,
mengusap rambut halus anaknya, usapan penuh kasih sayang.
Dengan tangis tak tertahan ia membujuk Abi
agar mau merestui hubungan Gus Aziz. Dengan air mata tak terbendung perempuan salehah
itu memohon kepada suaminya agar mau meridoi pilihan anaknya. Tangannya
memeluk ikut lutut Abi.
“Aziz adalah anak kita satu-satunya, Bi. Dia
benar-benar mencintai gadis itu, Bi. Dia rela tercampak ke neraka
gadis tampa restu kita asal bersama itu, Bi. Apakah Abi tega melihat anak kita menderita
tanpa restu dari Abi.” Umi membujuk lembut, berbicara dari hati ke hati.
Lihatlah!
Abi diam. Terbungkam tanpa suara. Duduk
bersantai dalam kenyamanan. Dari dekat sepasang matanya terlihat berkaca-kaca.
“Allaaaaaaah.” Abi berteriak sekeras-kerasnya,
air matanya mengalir. Lihatlah, kiai kokoh dan teguh prinsip itu sedang
berteriak, tak mampu menahan haru.
“Allaaaaaaah.” Abi berulang kali menyebut nama
itu. Berulang kali juga air matanya mengalir deras.
***
Fajar memanjang di ufuk timur.
Mentari tersenyum bahagia. Pucuk-pucuk daun melambai-lambai kegirangan sambil
didukung setetes embun. Pagi itu benar-benar indah. Namun hati Farihah
sanggup mengalahkan keindahan pagi itu. Betapa tidak, dia saat ini akan diakad.
Akan saling berjanji setia sehidup semati bersama Gus Aziz.
Begitu juga dengan Gus Aziz. Ia bahagia bukan
utama. Ia akan hidup bisa jika bersama Farihah. Ia merasa hari ini adalah
miliknya. Tuhannya telah mengistimewakan dan menghususkan bahwa hari ini
adalah untuk diriya dan Farihah kekasihnya. Bahkan dunia diciptakan hanya untuk dirinya dan Farihah. Yang lain cuma ngekos doang . Tidak lebih.
Pagi itu akad nikah berlangsung lancar. Usai
akad nikah Gus Aziz langsung menggendong semampai tubuh Farihah yang gemulai.
Di dalam kamar…
“Pengen sekarang apa nanti malam?” tanya Gus
Aziz sambil memegang lembut dagu istrinya.
Lihatlah, Farihah diam tersipu, tertunduk
malu-malu. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Astaga, pipi itu sudah merah
ranum bagai buah delima.
“Sayangku,” panggil Gus Aziz sambil mencubit
mesra pipi kekasihnya.
Farahah mendongakkan kepala, menatap wajah Gus
Aziz pelan-pelan.
“Pengen sekarang apa nanti malam?” Gus Aziz
kembali. Seperti sengaja jahil melihat Farihah yang sudah mulai tadi mandi
keringat.
Diam. Hanya pipi bersemu merah yang menjawab
pertanyaan itu.
“Kita sepakat nanti malam ya.” Gus Aziz
berbisik di dekat telinga Farihah.
Hei, pelan bidadari berhijab itu mengangguk.
Tersenyum. Manis sekali.
“Di tahun
ini kita hanya menyusun dua rencana dulu ya, Sayang?”
“Apa itu, Mas?” Farihah bertanya penasaran,
bergeliat manja dipangkuan suaminya, tersenyum manis.
“Pertama, ikutlah dengan Mas ke Mesir untuk
melanjutkan S2 disana! Bagaimana?”
“Farihah makmum sama, Mas.”
“Kedua, Mas akan memproduksi anak sebanyak dua
belas kepala di tahun pertama pernikahan kita. Sekalian membentuk tim sepakbola
dengan satu cadangan. Kamu setuju?” ucap Gus Aziz sambil mengerlingkan mata
nakalnya.
Farahah terkejut bukan yang utama. Aura kaget
tertangkap basah di wajahnya yang polos dan cantik itu.
“Tapi, Mas….”
Belum sempat Farihah menyelesaikan
kata-katanya tiba-tiba Gus Aziz telah meletakkan bibirnya di bibir Farihah,
membuat Farihah terbang ke negeri yang tak ia kenal. Gus Aziz sudah memeluk
erat semampai tubuh Farihah. Gus Aziz sudah mendekap kuat-kuat tubuh Farihah,
membuat Farihah susah bernapas.
Hangat. Nikmat. Dan tak terbahasakan.
“Eh, tunggu Mas, katanya nanti malam.” Farihah
sudah kehilangan setengah kesadaran, pelan-pelan ia menikmati pelukan hangat
Gus Aziz.
“Nanti malam babak kedua.” Gus Aziz sudah
membaringkan tubuh Farihah. Tersenyum nakal.
Setelahnya, penulis tidak mampu lagi
mengungkapkan cerita indah itu ke dalam kisah indah ini. Karena rangkaian
kata-kata tidak memiliki mandat untuk mewakili keindahan dan kenikmatan tentang
apa yang dilakukan pengantin baru di pagi hari itu. Hanya saja, yang jelas, mereka
terlihat semangat beribadah di pagi itu.[]