-Cerpen Sedih Berpisah karena Penjodohan . Halo teman-teman Gubuk Literasi , kali ini saya akan menyuguhkan cerita sedih ya. Cerpen sedih berpisah karena penjodohan, kisah antara Qisur dan Yasmin. Yasmin harus menangis sedih karena Qisur telah dijodohkan saat Yasmin berangkat mondok ke pesantren. Maka mereka harus menututp episode cerita cintanya.
Di ujung sore yang menyenangkan, gadis itu duduk sendiri di bibir pantai, menikmati setiap debur ombak yang menghantam batu karang. Suaranya terdengar berirama, bertalu-talu di pintu telinga. Perlahan gadis itu menatap keatas, selarik senja membawa kenangannya ke dalam episode lalu, cerita indah bersama kekasihnya.
Di tempat yang sama, di sore yang sama, dulu mereka pernah mengikat janji untuk setia dalam satu cinta, menyulam mimpi untuk bertahan dalam satu hati. Irama ombak yang berdebur menabrak batu
karang adalah Saksi bisu Saksi setia itu. Selarik senja yang menghiasi langit adalah bagian dari saksi nyata simpul impian indah itu.
“Kak Qisur, aku akan pergi untuk sementara waktu.” Sayup suara itu terdengar, disampaikan oleh wajah yang sendu dan mata yang redup.
“ Pergi?” Qisur mengulangi kalimat itu tanpa suara. “Kemana? Berapa lama?” Qisur nyaris terkejut, mengernyitkan dahi.
“Besok aku harus pergi ke pondok pesantren.” Yasmin berbisik lirih sambil menatap sendu kekasihnya.
Hening untuk beberapa saat. Dua pasang mata itu menatap kosong ke laut lepas, membiarkan pikiran bermain di dunianya masing-masing. Tetapi tetap dalam satu tema. Mempersiapkan diri melawan rindu.
“Aku berharap namaku tidak terganti dengan nama lain di hati Kak Qisur.” Yasmin berhenti menatap laut, kembali menatap erat wajah Qisur.
“Tidak.” Qisur menggeleng. “Aku tidak takut dengan orang ketiga. Karena aku yakin, hati tercipta untuk merasakan. Merasakan betapa sakitnya cinta yang terbagi. Jika aku dan kamu manusia maka kita akan merasakan bagaimana sakitnya hati yang beragam. Karena kita manusia maka kita tidak akan membagi cinta untuk orang lain.”
Yasmin mengangguk lega. Wajahnya sedikit berseri mendengar kalimat setia itu.
“Tapi yang aku hawatirkan, apakah kita mampu menahan rindu seiring hari-hari yang datang dan pergi. Di setiap senja yang dibangkitkan lembayung jingga. Di setiap hujan yang mengundang serpihan kenangan. Dan di setiap gelap yang membungkus malam.”
Yasmin menggeleng pelan. “Yasmin tidak mampu, Kak Qisur. Yasmin hanya ingin bersamamu. Selamanya sampai kita menutup mata.” Yasmin sudah berhambur kepangkuan Qisur, memeluk erat.
Waktu berlalu dengan cepat.
“Aku ingin Kak Qisur berjanji pada Yasmin.”
“Janji apa, Yasmin?”
“Berjanji untuk tidak pergi dari hidup Yasmin.”
“Astaga, aku tidak akan pergi dari hidupmu karena masih banyak janji yang belum aku tepati.” Qisur berbisik mesra di telinga
Yamin, meyakinkan bahwa dirinya tidak akan pergi.
Setelah itu tak ada lagi kata yang tersampaikan. Mereka sibuk menikmati hangatnya pelukan romantis di bawah lembayung jingga yang siap menelan senja.
***
Cerpen Sedih Berpisah karena Penjodohan . Sekarang , di tempat yang sama, disore yang sama, Yasmin duduk sendiri, menatap ke laut lepas, memutar kembali romantisnya cerita lalu sambil menunggu Qisur datang. Lima menit. Sepuluh menit. Tiga puluh menit.
Menunggu itu melelahkan, bukan? Dan benar. Itu yang dirasakan Yasmin. Lelah berharap sesuatu yang tak pasti. Lelah memimpikan sesuatu yang tidak akan terjadi. Lelah menunggu sesuatu yang tak akan pernah datang.
Baik.
Gadis itu sudah bersiap pulang membawa ber-ton-ton kerinduan yang menenangkan hatinya. Bergegas melangkah. Terhenti. Lihat ayo lihat siapa yang datang. Qisur yang datang membawa senyum. Membuat ton-nan rindu itu berguguran dalam hitungan detik.
“Maafkan aku Yasmin. Aku lambat…” Qisur berkata pelan, merasa bersalah. Terhenti.
“Tidak. Tidak masalah, Kak Qisur. Itu bukan masalah yang…” Yasmin memotong dengan cepat, menggeleng. Wajahnya yang sayu kembali menemukan segarnya. Matanya yang redup kembali menemukan nyalanya.
“Bukan. Bukan itu yang aku maksud, Yasmin.” Qisur menggeleng, juga memotong dengan cepat. Ya smin menatap tidak mengerti. Dahinya berkernyit. Alisnya bersambung.
“Maaf aku lambat memberi tahu ini padamu. Satu bulan setelah kamu berangkat ke pesantren, aku sudah dijodohkan oleh orang tuaku.” Pelan-pelan Qisur menyampaikan kalimat menyakitkan itu. Tertunduk berbaring.
Maka demi mendengar kalimat yang memilukan itu, kalimat yang tak diinginkan itu, satu bulir air mata menetes pelan. Satu persatu jatuhan membasahi halus kulitnya. Perih hatinya. Sakit jiwa. Yasmin sudah terhempas di negeri yang tak ia kenal. Gelap. duka. Dan rindu yang akhirnya benci.
“Apakah Kak Qisur akan pergi begitu saja meninggalkan janji indahnya yang belum terpenuhi?” Yasmin mendesis kesal, tidak mampu menahan emosinya yang meluap-luap. Mata yang berkaca-kaca memerah.
Qisur menunduk terbungkam.
“Tidak.” Yasmin menggeleng. “Aku tidak takut dengan orang ketiga. Karena aku yakin, hati tercipta untuk merasakan. Merasakan betapa sakitnya cinta yang terbagi. Jika aku dan kamu manusia maka kita akan merasakan bagaimana sakitnya hati yang beragam. Karena kita manusia maka kita tidak akan membagi cinta untuk orang lain.” Yasmin mengikuti nada bicara dan ekpresi wajah yang dilakukan Qisur satu tahun silam.
“Lalu dimana pembuktian kalimat itu, Kak Qisur?”
Lagi-lagi Qisur tertunduk diam.
“Tapi yang aku hawatirkan, apakah kita mampu menahan rindu seiring hari-hari yang datang dan pergi. Di setiap senja yang dibangkitkan lembayung jingga. Di setiap hujan hujan yang
mengundang serpihan kenangan. Dan di setiap gelap yang membungkus malam.” Yasmin kembali meniru gaya dan nada yang pernah disampaikan Qisur satu tahun yang lalu.
“Lalu apa buktinya?” Yasmin semakin tidak mampu mengendalikan emosinya, nada bicaranya meninggi.
“Aku rindu sama kamu, Yasmin. Selama kamu di pesantren, bahkan sampai saat ini aku merindukanmu, Yasmin. Itu buktinya.” Kali ini Qisur membantah kalimat Yasmin, ikutan meninggikan suara. Pandangannya menatap tepat ke mata Yasmin yang berair.
“Tapi kenapa kamu melakukan semua ini?” Yasmin membentak lebih keras. Isaknya meningkahi suara debur ombak yang tak pernah bosan menari-nari di bibir pantai.
“Astaga, aku tidak akan pergi dari hidupmu karena masih banyak janji yang belum aku tepati. Itukan kalimat indahmu untuk membuai hatiku. Lalu kenapa sekarang kamu ingin pergi meninggalkan aku yang lagi sayang-sayangnya sama kamu. Jawab Kak Qisur ! Jawab ! ”
Qisur menunduk lemas.
Hening berlalu begitu saja. Tak ada yang berdengung selama beberapa saat. Mereka sama-sama tertunduk berbaring, berenang dalam pikiran masing-masing. Selarik senja diatas sana teronggok bisu menyaksikan konflik pilu itu. Hanya ombak yang tak pernah ingin tahu, ia tetap saja berdebur menjilat-menjilat kaki yang saling berhadapan di hadapannya.
Qisur mendongak. “Yasmin, terima kasih tahu aku bagaimana caranya agar mama membatalkan perjodohanku.”
Yasmin terkejut, menelan ludah. Terbungkam seribu bahasa. Tidak tahu harus menjawab apa.
“Dan ajari aku bagaimana caranya agar aku bisa melupakanmu. Saya mohon berikan penjelasannya. Silakan .” Qisur berkata serak sambil menatap sendu wajah Yasmin.
Sekarang Yasmin sepenuhnya kelu. Hanya bisa terisak tak berdaya.
“Juga beri aku obat penawar agar jiwa ini berhenti merindukanmu, agar hati ini berhenti menyebut namamu dalam doa-doa pintaku, agar pikiran ini berhenti memutar wajahmu yang selalu tersenyum sepanjang malam.”
Tak perlu disampaikan dua kali Yasmin sudah berhambur memeluk Qisur, menangis tersedu. Terisak pilu.
Maka pelukan di ujung sore itu, pelukan di bibir pantai itu, pelukan yang disaksikan selarik senja itu adalah pelukan yang terakhir. Cerita cinta itu sudah berakhir. Menyisakan lembar-lembar kenangan
indah yang selamanya tidak akan terlupakan dalam ingatan mereka. Selamanya . Episode indah itu sudah diujung kisah.
Esok-esok kisah baru akan tergores dalam harian mereka meski tidak
seindah sekarang. []
Cukup sampai di sini dulu cerita Cerpen Sedih Berpisah Karena Penjodohan ya, jangan lupa baca juga cerita seru lainnya di sini yaa.
Tersentuh banget bacanya,ditunggu karya selanjutnya